Rabu, 26 Maret 2008

Terik kehidupan










Rasa perih menimpa kulit ketika panas terik membakar. Panas dari segala sisi, kiri-kanan-atas-bawah. Ingin rasanya segera berteduh menyejukkan pori-pori kulit yang makin gelap. Hampir patah arang jika tak ada awan putih yang menaungi. Kata temanku, life is stragle men, hidup adalah perjuangan, .

Terdengar sayup lagu garang 'We are the champions' dari speaker bus saat pulang. Kampus Merah terbayang sepintas. Ah...

Jumat, 21 Maret 2008

Negeri pantun


Taman bunga ditanah lapang

Hinggap belalang di tempat rendah
Baru guna jika hati tenang
Tetap berjuang walau pelepah

Buah nangka buah kedondong
Tepuk tangan dong.

Wuih... susah juga buat pantun ya.
Baru aku sadari dengan nyata bahwa aku berada di negeri Melayu. Ciri khas yang kemarin aku menyaksikan kebiasaan membuka pidato dengan berpantun.

Kemarin, aku mendengar pantun lagi, di sebuah forum resmi. Pulau Buluh, pulau yang konon menjadi cikal menyebarnya masyarakat melayu ke Batam yang kini telah menjadi ramai. Untuk sampai ke pulau ini harus menyeberang dengan sampan sekitar 20 menit.

Selasa, 18 Maret 2008

Pesan singkat sahabat









Air matanya menitik. Aku tak tahu sebabnya.

Ketika itu...
Beberapa hari belakangan ada suara-suara miring yang terdengar dari candaan teman-teman tentang aktivitas siyasi mereka. Ada yang berpandangan sepak terjang mereka terlalu agresif dan menghawatirkan kedekatan yang berlebihan dengan seorang tokoh. Mungkin yang lain mempermasalahkan, namun dia tetap yakin akan keikhlasan aktivitas itu. Yang lain mungkin menanggap terlalu jauh, namun dia tetap berusaha ikhlas.

Hari itu tiba-tiba dia terdiam dan ada titik air mata mengalir. Kami terdiam dan semua tak kuasa untuk tidak larut dalam haru itu.

Sahabat, kutahu betapa engkau cinta jalan perjuangan itu. Dan kutahu engkau saat ini masih menapak jalan itu. Dan hari ini aku betul-betul yakin.

(1 message received)
Berlari menuju Allah dengan bekal takwa dan amal ukhrawi serta sabar berjihad karena Allah...Semua bekal terancam musnah kecuali takwa, kebajikan dan petujuk..Tetap semangat akhi!
(Andu)

Semoga kita bisa jumpa lagi, menguatkan persaudaraan kita lagi.
Uhibbukum fillah ya akhi
Abdul Rahim Farisi fii Kendari...

Sabtu, 15 Maret 2008

Yang tak sempat terucap












Terngiang syair sebuah nasyid.....


Untukmu Teman

Brothers

Di sini kita pernah bertemu
Mencari warna seindah pelangi

Ketika kau menghulurkan tanganmu

Membawaku ke daerah yang baru

Dan hidupku kini ceria
Kini dengarkanlah
Dendangan lagu tanda ingatanku

Kepadamu teman

Agar ikatan ukhuwah kan bersimpul padu

Kenangan bersamamu

Takkanku lupa

Walau badai datang melanda

Walau bercerai jasad dan nyawa
Mengapa kita ditemukan
Dan akhirnya kita dipisahkan

Mungkinkah menguji kesetiaan

Kejujuran dan kemanisan iman

Tuhan berikan daku kekuatan


Mungkin amat terlambat, namun tak apalah.
Kemarin tak sempat mengucap terima kasih dengan lengkap kepada semua teman-teman 'luar biasa' yang mewarnai hari dalam nuansa anak muda yang berusaha menghidupkan ghirohnya. Sekali lagi, terima kasih kawan, guru/mr/asatiz, saya belajar dari semangat antum/antunna semua.

Selasa, 11 Maret 2008

Terkenang lagi












Entah kenapa tiba-tiba dua hari ini beberapa momen mempertemukanku untuk mengingat orang tuaku. Kemarin bertemu daun ubi dan mengingatkan Ibu. Hari sebuah momen tidak bisa tidak membawaku untuk mengingat Ayah.

Ketika berkunjung ke rumah tema, aku tertarik dengan sebuah buku yang berjudul 'Cinta di rumah Hasan al-Banna'. Saya minta izin untuk meminjamnya. Selama perjalanan pergi dan pulang di atas bis kantor, saya membaca dengan sangat hikmat hingga tak terasa hampir habis.

Buku ini berkisah tentang bagaiman seorang tokoh pergerakan dunia Islam, Hasan al-Banna mendidik putra-putrinya. Tak bisa saya bayangkan, dia yang tentu begitu banyak beraktivitas dalam aktivitas pergerakan berskala dunia masih memiliki waktu yang indah untuk anak-anak dan keluarganya. Dia berhasil mendidik umat dan suksek mendidik keluarganya dalam waktu yang hampir bersamaan.

Selama menikmati karya M. Lili Nur Aulia ini, ada sebersit suka cita. Rasanya kepingan-kepingan nuansa cinta itu pernah hadir dalam rumahku, walau tak sama persis. Namun saya begitu bersyukur menjadi anak dari seorang bapak dan kurasakan betapa aku telah dididiknya dan terasa hingga hari ini.

"Ayah, andai kelak aku bisa menjadi sosok ayah seperti Hasan al-Banna. Atau minimal nuansa apa yang kau didikkan kepada kami dulu, ayah, bisa kuhadirkan pula kelak. Kelak dirumah cinta."

Daun ubi dan Ibu










Sepulang dari kerja dan mampir shalat magrib, saya mampir makan di rumah makan padang yang banyak bertebaran di kota ini. Setelah makanan tersaji di atas meja mata saya tertuju ke sayur berwarna hijau yang sudah berubah warna karena pasti terebus air panas. Daun ubi.

Sejenak aku terdiam dan langsung mengingat Ibu. Sayur daun ubi/ singkong itu mengingatkanku padanya. Sejak kecil bahkan setelah berpisah karena kuliah di kota, sayur itu kerap dibuatkan dengan sengaja olehnya karena tahu aku kerap mencari masakan itu.

Wajah ibu hadir di depanku. Seolah ia berjalan membawakan segelas air ke arahku. Ingatan akan ibu yang jauh di seberang pulau Celebes makin kuat. Mengingat guratan wajahnya dan tangannya yang tak pernah berkata lelah. Itulah mungkin yang meyakinkan kami anak-anaknya betapa dia menyayangi kami.

"Daun ubi itu mengingatkanku padamu, Ibu. Tapi rasanya tak seenak masakan ibu." Tiba-tiba mataku berkaca-kaca.

BERQURBAN SEBAGAI BUKTI KETAATAN

Setiap kebaikan sejatinya bisa dilaksanakan kapan saja. Namun berqurban di hari Idul Adha (dan tiga hari setelahnya) adalah momentum istim...