Sabtu, 28 Maret 2009

Kisah Opa Sang Pelaut

“Jadilah pelaut supaya kau bisa lihat banyak tempat, banyak bangsa. Kau masih muda, masih punya banyak kesempatan. Klo Opa sudah tua”. Dia lalu melanjutkan, “Orang Makassar itu pelaut hebat-hebat, dari dulu hingga sekarang, mereka sangat cinta laut.”

Seperti biasa, siang itu aku ke workshop tujuh, sebuah bangunan besar dan tinggi seluas stadion tennis yang bisa menampung lima sampai enam lapangan. Disini salah satu lokasi fabrikasi potongan-potongan kapal (block) yang terlindung dari panas dan hujan. Disinilah saya sering bertemu dengan pak tua itu.

Usianya mungkin sekitar 60 tahun dengan perawakan agak pendek, kulit gelap. Sehari-harinya sebagai helper bagian cleaning. Tugas utamanya adalah menyapu dan membersihkan workshop seluas stadion itu beserta blok-blok kapal yang sedang dalam proses produksi.

Awalnya, setiap berpapasan dia selalu melemparkan senyum dan aku membalas sambil melambaikan tangan. Suatu hari kami bekenalan. Saling memperkenalkan diri dan asal daerah. Dari itu aku tahu dia berasal dari Ambon, dan memang tampak dari logat dan perawakannya.

Dia lalu bercerita panjang lebar bahwa dia adalah ‘orang kapal’, kru kapal bagian deck. Bermacam-macam kapal telah dilayari dengan pemilik yang bermacam-macam bendera/ negara pula, selama sepuluh tahun. Dia telah mengarungi lautan dan menginjak hampir semua negara Asia. (Ah…yang benar?) Awalnya aku seperti kurang percaya. Tapi raut wajah itu tak nampak orang yang mengada-ada. Dan sejak setahun ini beralih profesi menjadi tukang sapu. Sudah terlalu tua untuk terus melaut, katanya.

Aku tertegun dan tiba-tiba muncul kekaguman pada lelaki tua itu. Tak pernah kubayangkan lelaki tua dekil yang pakaiannya selalu kotor penuh debu itu pernah melanglang buana. Lelaki yang sering kulihat merangkak dalam blok yang sempit membersihkan debu dan bekas welding-an, ternyata bukan lelaki biasa. Yang saya herankan, kenapa kini dia ada disini, di galangan kapal yang suasananya keras. Menjadi ‘orang klining’ pula, dari jam 07.30 hingga 18.00.

“Opa sudah tua dan tidak biasa diam. Pekerjaan yang cocok untuk orang tua seperti saya disini hanya seperti ini”. Dia menjawab dengan penuh semangat. Tak tampak penyesalan di raut wajahnya karena profesinya sekarang. Subhanallah.

Pesan moral: (1)Yang tampak kadang tak seiring dengan yang kita duga. (2) Smangat terus, tak kenal usia. (3) Bangga juga pernah di Makassar, yang (dulu) orangnya hebat-hebat.

3 komentar:

  1. memang penampilan belum tentu menggambarkan hal yang sebenarnya...

    BalasHapus
  2. Ya, betul. Sehingga kadang kita mesti lebih mendekat dan meyelami seseorang dari sudut yang lain.

    BalasHapus

BERQURBAN SEBAGAI BUKTI KETAATAN

Setiap kebaikan sejatinya bisa dilaksanakan kapan saja. Namun berqurban di hari Idul Adha (dan tiga hari setelahnya) adalah momentum istim...