Selasa, 28 September 2010

Kisah Anak Penjual koran

Ini kisah tentang pejual koran lagi. Tapi ini episode yang aku saksikan sendiri.

Beberapa hari yang lalu sepulang dari Batam Center usai menyaksikan "Sang Pencerah", kami berhenti di perempatan lampu merah Engku Putri-Masjid Raya. Saat menunggu lampu berganti hijau, seorang bocah berumur sekitar sepulu tahun bangkit mendekati kami. Tubuhnya subur, kulitnya agak gelap dibawah lampu jalan yang remang-remang. Berkaos warna cokelat. Raut wajahnya memelas. Dia menawarkan koran Batam Post.

"Pak, beli koran pak." Anak itu mengambil koran dari sekian koran yang didekap di dadanya. Wajahnya menatap wajah kami. "Belilah Pak. Untuk makan Pak." Lampu merah belum berganti. "Masih sekolah, Dek? Kelas berapa? Aku bertanya. "Kelas lima." Jawabnya singkat. "Tinggal dimana?" "Tanjung Piayu". Hah? Tanjung Piayu, jauh sekali pikirku dari Batam Center ini. "Tinggal sama siapa?" Tanyaku lagi. Sama Ibu. Klo Bapak, sudah meninggal. Ibu kerjanya jadi tukang cuci pakaian".

Singkat cerita, kuminta istri memberi uang untuk membeli korannya. Aku khawatir hingga malam ini dia belum makan. "Siapa namanya, Dek." Tanyaku ke anak itu. "Hendik". Lampu berganti hijau dan kami tak bisa melanjutkan dialog itu. Dalam perjalanan selanjutnya, terbayang wajah anak itu. Dan terbayang lagi kira-kira berapa keuntungan yang dia dapat malam itu. Cukupkah untuk membeli nasi bungkus plus ongkos pulang ke Tanjung Piayu?

Jadi teringat dialog dalam "Sang Pencerah". Sudah berapa anak yatim yang engkau beri makan?

NB:

Malam itu aku mendapat 'pencerahan' dari seorang anak yang berjuang di sebuah simpang jalan. Menjual koran untuk menopang hidup dirinya dan Ibunya. Kadang kita tak mensyukuri nikmat yang diberikan melimpah kepada kita. Dan ternyata ada yang lebih kekurangan dibanding diri kita.

Rabu, 15 September 2010

Kisah Ibu Penjual koran

"Nak, beli koran nak?" Saat itu saya lagi makan di sebuah warung ketika seorang ibu setengah baya menawarkan sebuah koran yang tak lagi up-date karena sudah menjelang sore. Awalnya aku tidak mempedulikannya hingga dia berkata, "Nak, beli koran nak, untuk beli makan". Sesaat mulutku berhentu mengunyah. Aku paham maksudnya bahwa dia butuh uang dan berjualan koran petang itu untuk sekedar dapat membeli makan.

Karena trenyuh mendengar kata-kata ibu itu dan melihat penampilannya yang menghiba hati, aku menawarkan tuk ikut makan di warung itu. "Ikut makan sama saya saja Bu. Nanti saya yang bayar." Ibu itu nampak ragu. Sekali lagi aku tawarkan. Tapi nampaknya masih enggan. "Kenapa Bu?". "Anak saya nanti makan apa, Nak?" Diikuti senyum kecil dari ibu tersebut. Masya Allah, ucapku dalam hati. Ibu ini tak ingin makan sendiri dan memikirkan anaknya dirumah. Dia sepertinya hanya berharap agar korannya dibeli sehingga ada uang untuk membeli makan. Hatiku terasa terobok-obok dan tiba-tiba teringat orang tuaku. Teringat akan ibuku.

Seketika itu juga aku borong lima buah koran yang harganya tak seberapa itu dan kupesankan lima bungkus nasi untuk ibu itu. Aku rasanya menyaksikan kemahakuasaan Allah atas rasa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Allahu Akbar.

NB: Mari mendoakan orang tua kita dan orang-orang yang kita cintai untuk segala kebaikannya. (Cerita nyata dari seorang kawan sore tadi)

BERQURBAN SEBAGAI BUKTI KETAATAN

Setiap kebaikan sejatinya bisa dilaksanakan kapan saja. Namun berqurban di hari Idul Adha (dan tiga hari setelahnya) adalah momentum istim...