Kamis, 27 Agustus 2009

Wajah polos di subuh itu















Episode Ramadhan (2)

Wajah-wajah mereka begitu polos dalam balutan baju koko dan mukenah putih yang lucu. Anak-anak itu hendak "menghidupkan ramadhan" dengan cara mereka, walau mereka tak menyadarinya. Raut wajah polos, seolah tak ada beban yang mereka pikirkan. Pasti belum berfikir ruwet bagaimana mencari uang, seperti orang tua mereka yang kebanyakan adalah para 'maestro' pembuat kapal.

Subuh tadi, seperti setiap subuh semenjak ramadhan ini, anak-anak warga kompleks itu begitu antusias mengambil mushaf al-qur'an dan meja panjang untuk alas mengaji. Sambil tertawa riang mereka saling berlomba duduk manis ingin segera memulai tilawah mereka. Ada si Sumantri dan kawan-kawannya yang kelas tiga smp. Ada adiknya si Siti, kelas tiga sd yang masih malu-malu ikut, dan yang lainnya yang masih sebaya. Rata-rata seusia smp dan sd. Wajah-wajah itu mengingatkan masa kecil dulu saat masih 'berguru' untuk menggapai ilmu terpenting dan sangat berarti, yaitu ilmu a ba ta tsa ja...:)

Suasana di kota santri... mungkin itu seolah gambaran suasana sesaat dalam masjid kecil 10x8 meter itu hingga tiba pukul enam pagi untuk kemudian kembali manjadi lengang.

Keceriaan mereka yang mungkin juga perah kita alami sungguh pengalaman kadang terasa biasa-biasa saja. Itulah bentuk ekspresi mereka dengan usia mereka.

Bagi kita yang mungkin bukan anak-anak lagi tentu jangan sampai kalah untuk menghidupkan ramadhan, tentu dengan ekspresi yang lebih dalam, sesuai dengan tingkat usia Anda.

Jika Sumantri dan kawan-kawannya masih belajar mengeja kalimat-kalimat dalam kitab suci itu...mungin untuk kita adalah sudah berapa juz tilawah kita hingga hari ini?

Senin, 24 Agustus 2009

Susah cari orang jujur sekarang, Bang...






















Episode Ramadhan (1)

Suatu sore, seminggu menjelang ramadhan, saya pulang dari tempat kerja. Beberapa meter dari pintu keluar, motor saya tiba-tiba berhenti. Ternyata kehabisan bensin. Kebetulan tak jauh dari tempat itu kulihat ada kios yang menjual bensin eceran dalam botol minuman mineral.

Saat si penjual mengambil sebotol bensin, kubuka dompetku. Ternyata lagi tak bawa uang lebih, hanya tersisa tiga ribu. Si penjual tak mau jika hanya membeli segitu. Lalu saya minta utang dulu, maksudnya bensinnya saya pakai dulu lalu saya pulang ambil uang ke rumah untuk membayarnya karena motor saya tak bisa jalan lagi tanpa diisi bensin.

"Maaf Pak, bukannya saya tidak percaya sama Bapak, tapi sekarang ini susah percaya sama orang. Sudah banyak seperti itu. Sekarang susah cari orang jujur, Pak."

Setelah bernegosiasi, akhirnya saya menitip STNK sebagai jaminan bahwa saya insya Allah akan belik untuk membayarnya.

Sebuah kejujuran mungkin benar-benar mulai langka di dunia ini. Satu persatu orang merasa ragu dengan seseorang untuk memberikan kepercayaan atas sesuatu.

Singkat cerita, masihkah ramadhan menjadi ladang melatih kejujuran bagi kita? Ataukah puasa hanya seperti sabda Rasulullah, hanya mendapat lapar dan haus? Semoga tidak, sebab masih ada Anda dan saya yang tetap berusaha mengambil hikmah dari makna berpuasa yang sesungguhnya.

BERQURBAN SEBAGAI BUKTI KETAATAN

Setiap kebaikan sejatinya bisa dilaksanakan kapan saja. Namun berqurban di hari Idul Adha (dan tiga hari setelahnya) adalah momentum istim...